CSR Perusahaan di ASEAN Belum Memperhatikan HAM

 By Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia

Please click here for source of article.

Jakarta, CNN Indonesia -- ASEAN merupakan salah satu organisasi regional yang terdiri dari negara-negara dengan perkembangan ekonomi cukup pesat. Menurut data International Monetary Fund (IMF) tahun 2012, delapan dari 10 negara di ASEAN termasuk ke dalam negara dengan pendapatan nasional terbesar se-Asia Pasifik.

Tak heran, banyak sekali pengusaha baik swasta asing maupun lokal memanfaatkan peluang ekonomi dan pasar untuk mengembangkan industri dan korporasi mereka di negara-negara ASEAN.

Pada satu sisi, invasi korporasi dengan aset dan kegiatan bisnisnya memiliki pengaruh yang tidak sedikit dalam membantu pemerintah menggerakan ekonomi nasional.

Namun, operasi bisnis korporasi tak hanya sebatas meraup kepentingan ekonomi saja. Secara etik, Menurut Co-Director, Centre for Scholar’s Development Singapore Management University (SMU) Eugene Tan, perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan. Tanggung jawab ini membuat operasi perusahaan lebih berprikemanusiaan dan berkelanjutan (sustainable).

Menurut Eugene Tan, masih banyak perusahaan di negara-negara ASEAN yang tidak memiliki regulasi dalam mengimplementasikan bisnis yang berkelanjutan, khususnya dalam mengimplementasikan corporate social responsibility (CSR).

Eugene menuturkan, perusahaan hanya memahami sebatas sumbangan atau charity belaka. Ia melihat, banyak perusahaan, khususnya di negara-negara ASEAN yang masih melaksanakan CSR dilator belakangi profit/ekonomi.

“Saya melihat CSR itu sebagai etik dalam praktik bisnis. Jika saya melihat CSR didasari dengan profit dengan tidak memperhatikan aspek hak asasi manusia, maka itu bukan CSR yang sesungguhnya,” tutur Eugene dalam konferensi bertajuk Conference on Corporate Governance and Responsibility: Theory Meets Practice, di National University of Singapore, Singapura, pada Kamis (21/7).

Menurut Presiden Direktur dan Pimpinan Konsultan Kiroyan Partners Noke Kiroyan, implementasi CSR yang sekedar mengandalkan sumbangan tidaklah akan berkelanjutan.

Noke yang juga sebagai Pimpinan Kamar Dagang Internasional Indonesia menyatakan, CSR itu merupakan bagian dari etika dan manajemen operasional perusahaan.

Untuk itu, tutur Noke, perlu ada penyuluhan guna meningkatkan pemahaman para pimpinan dan direksi perusahaan tentang implementasi CSR yang benar dan berkelanjutan.

Dalam konferensi ini, sekitar 280 delegasi yang merupakan praktisi-praktisi bisnis, perwakilan universitas serta akademisi, NGO, dan stakeholder lainnya dari negara-negara ASEAN bahkan global saling bertukar ide dan inovasi mengenai pemahaman dan perkembangan implementasi CSR perusahaan-perusahaan di ASEAN.

Response positif terlihat selama tiga hari konferensi berlangsung. Akademisi dan pebisnis saling bertukar pemahaman mengenai bagaimana mengoptimalkan dan mendorong praktik bisnis yang sustainable.

“Konferensi ini merupakan suatu platform bagi riset, pengajaran, dan praktik yang akan lebih mendorong perusahaan-perusahaan di ASEAN untuk mengadopsi dan menjadikan praktik bisnis yang bertanggung jawab dan berkelanjutan,” ujar CEO ACN Thomas Thomas.

Lebih lanjut, konferensi tersebut menyuguhkan berbagai isu yang patut menjadi perhatian lingkungan bisnis di ASEAN seperti penyuluhan strategi implementasi CSR di kawasan, membangun integritas dan kepercayaan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, produksi dan konsumsi yang sustainable dalam rantai produksi, serta tanggung jawab bisnis dalam perlindungan HAM.

Praktik Bisnis Berkelanjutan

Menurut Direktur Centre for Governance, Institutions, and Organizations (CGIO) National University of Singapore (NUS) Business School Lawrance Loh, praktik bisnis berkelanjutan dapat dilihat dari performa dan kebijakan masing-masing perusahaan. Kebijakan perusahaan tersebut, tutur Loh, tertuang dalam laporan rutin yang dipublikasikan masing-masing korporasi.

Loh menyatakan, praktik bisnis berkelanjutan tergambar ketika kebijakan atau program operasional korporasi yang tertuang dalam laporan rutin perusahaan mempublikasikan kebijakan yang tak hanya mengutamakan pemaksimalan profit tapi juga mencanangkan kebijakan perusahaan lainnya meliputi manajemen perusahaan yang anti korupsi, serta memperhatikan keberlangsungan lingkungan sekaligus sosial

“Praktik bisnis yang sustain itu ketika praktik operasional korporasi memiliki aspek perhatian terhadap kesejahteraan sumber daya manusia dan lingkungkannya, khususnya perlindungan terhadap HAM.” Tutur Loh.

Menurut riset yang dilakukan ACN dan CGIO NUS, secara keseluruhan, hampir 50 persen dari 100 perusahaan pada masing-masing empat negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, telah menyatakan komitmen untuk mengimplementasikan bisnis berkelanjutan dalam laporan rutinnya. Namun jika dilihat dari kualitas penyingkapan laporan, perusahaan di keempat negara tersebut belum mencapai setengahnya.

Dari hasil riset tersebut terungkap bahwa rata-rata tingkat perhatian dari 100 perusahaan pada keempat negara tersebut terkait aspek sosial-ekonomi telah mencapai 50 persen. Namun di satu sisi, perhatian perusahaan-perusahan terhadap aspek lingkungan dan manajemen operasional yang transparan masih dibawah 50 persen.

“Minimnya perhatian perusahaan-perusahaan terhadap aspek lingkungan dan governance dapat terlihat dari masih sedikitnya perusahaan yang telah memaparkan dan menuangkan komitmen dan regulasi operasional terkait kedua aspek tersebut dalam laporannya,” tambah Loh.


CSR dan HAM

Menurut Direktur Eksekutif Ateneo Human Rights Centre Filipina Ray Paolo Santiago, praktik CSR tidak dapat terpisahkan dari perlindungan perusahaan atas HAM.

Praktik CS, tutur Ray, justru harus memiliki nilai yang mempromosikan dan melindungi HAM. “Karena pada akhirnya praktik CSR sendiri menyangkut tanggung jawab perusahaan dalam sisi aspek sosial,” tambahnya.

Selain itu, intensi masyarakat terhadap isu HAM, menurut Ray sangatlah tinggi. Tidak hanya masyarakat, para investor dan konsumen juga mulai menekan perusahaan untuk mengimplementasikan bisnis dan code of conduct yang menjamin adanya perlindungan HAM oleh perusahaan.

Menurut Ray, isu HAM sangat mempengaruhi ketahanan korporasi dalam persaingan bisnis. Ia menyatakan, survey terbaru mengungkap bahwa dari 1000 orang dewasa berusia antara 18 tahun keatas, hampir 70 persen diantaranya sangat mempertimbangkan isu isu-isu sosial, seperti sustainability, isu HAM, dan fair trade sebelum mengkonsumsi suatu barang tertentu. Berdasarkan survey ini, tutur Ray, besar kecilnya konsumsi barang masyarakat sangat dipengaruhi dengan isu-isu sosial disekitarnya.

Maka, untuk mempertahankan daya saing pasar, Ray menyatakan, perusahaan khususnya perusahaan di ASEAN patut mengimplementasikan praktik bisnis berkelanjutan, khususnya memperhatikan isu-isu sosial seperti HAM.

“ASEAN itu ibaratkan alergi terhadap isu HAM. Nilai HAM baru berkembang dalam pemahaman negara-negara di ASEAN mungkin sekitar 10 tahun lalu. Patikanlah operasional korporasi anda semua tidak menyalahi HAM jika ingin terus berjalan berkelanjutan. Sekarang masyarakat sudah jauh lebih pintar,” tutur Ray. (rel)